Jumat, 14 Juni 2013




Senin 27 mei 2013 ini saya memulai PKPA pemerintahan selama seminggu tepatnya di puskesmas setabelan Surakarta.
Kegiatan PKPA tidak jauh berbeda engan kegiatan KKN yang dulu pernah saya jalani ketika berada di jenjang pendidikan strata satu.
Setiap gelombang pada satu puskesmas terdiri dari lima orang, dan kami akan di bagi-bagi lagi untuk membantu di puskesmas pusat, puskesmas pembantu dan puskesmas keliling.
Disana yang saya kerjakan kadang membantu seorang ibu asisten apoteker (aa) mengerjakan dan meracik resep atau menginput resep pasien ke komputer.
Banyak sekali yang saya peroleh disini.
Banyak sekali yang bisa saya pelajari disini.
Dan semuanya berarti.
Bukan sekedar untuk memenuhi dahaga intelektual keilmuan farmasi saya.
Tapi lebih dari itu, pelajara berharga yang jauh daripada itu yang mungkin tidak bisa saya dapatkan dibangku kuliah dalam kelas ber-AC dengan fasilitas internet dan dosen dengan integritas tinggi lulusan luar negeri.
Ia bernama pelajaran hidup.
Kita semua tahu kalangan seperti apa yang biasanya datang berobat dipuskesma. Tidak sedikit dari mereka datang dari kalangan keluarga tidak mampu.
Entah itu kertas resep yang mereka bawa berwarna hijau (jamkesmas) atau berwarna pink (pkms) atau mungkin berwarna putih (gratis). Mereka mendapatkan pengobatan gratis.
Saya bersyukur sekali sekarang masyarakat bisa merasakan pengobatan gratis dari pemerintah. Apresiasi yang besar skali untuk pemerintah dan terimakasih untuk hal itu.
Setidaknya itu bisa sedikit meringankan beban mereka.
Waktu itu entah saya lupa hari apa, tapi tepatnya masih pagi. Saya berjaga di puskesmas pembantu.ia berada di lorong jalan dari jalan besar Jl. Gajah Mada. Belum banyak pasien yang datang. Jadi sambil mengeluarkan obat dari laci kemeja untuk memudahkan penyiapan resep nantinya asien pertama datang. Saya bisa melihat dengan jelas pasien itu.
Ia bapak-bapak Paruh Baya sekitar usia 60 tahun. Kulitnya hitam legam bertanda seringnya bercengkrama dengan panas matahari.
Beberapa rambutnya yang terjulur keluar dari balik topi biru usang yang dikenankannya tampak beruban menandakan panjangnya garis kehidap yang sudah ia lewati. Beberapa kali ia terdengar batuk. Ia terlihat sangat tidak sehat. Dan yang membuat saya semakin miris bapak itu duduk di bangku panjang dari kayu ruang tuggu puskesmas terlihat jelas ia tidak menggunakan alas kaki. Saya berharap semoga ia hanya lupa menggunakan alas kaki bukan karena ia tidak memilikinya.
Dokter memanggil namanya dan ia masuk ke ruang prakter dokter.
Dokter memeriksanya dengan stetoskop, dengan beberapa prosedur serhana melalui bunyi yang dihasilkan stetoskop dokter mencoba mendiagnosa penyakit yang dikeluhkannya.
Karena puskesmas pembantu kapasitas ruangannya memang kecil jd apotik tempat saya jaga berada dalam satu ruangan dengan tempat praktek dokter hanya dipisahkan oleh sekat berupa dinding berukuran 1 meter. Sehingga saya hampir selalu bisa mendengarkan percakapan atara dokter dengan pasien.
Saya mendengar dokter bertanya keluhan pasien, kemudian samar-samar saya juga mendengar pasien mengatakan sudahbatuk hampir 2 minggu dan selalu merasa sesak. Yang saya tangkap dokter umum itu tidak berani mendiagnosa mengenai batuk yang cukup lama dideritanya itu dan sesak yang dirasakannya. Ia menyarankan bapak itu untuk melakukan pemeriksaan dahak untuk mendiagnosa penyakitnya. Tepat seperti yang saya duga, dokter juga mendua baak itu menderita TBC. “Bapak harus memeriksakan dulu dahaknya ke rumah sakit. Hanya saya kurang tahu itu berbayar atau tidak pak” saya menangkap raut kesedihan diwajah bapak itu. Entah apa yang ada dipikirannya.
Ia menyerahkan resepnya.
Sembari mengerjakan resepnya sesekali saya mencuri pandang pada bapak itu melalui kaca jendela tempat penyerahan obat. Matanya menerawang nelangsa. Banyak yang ia pikirkan pasti. Pasti. Saya menduga-duga mungkin kemungkinan penyakit yang didiagnosa dokter tadi, atau mungkin hal lain. Satu yang saya syukuri untuk pengobatan pagi ini yang baru saja ia jalani, yang resep obatnya masih sementara saya kerjakan ia tidak merogoh koceknya. Terimakasih banyak untuk itu.

“Obat sesak ” celoteh saya sambil menyerahkan etiket yang baru saya isi aturan pakainya pada ibu aa disebelah saya itu.
“gimana tidak sesak kalau dia itu tiap hari menggayung becak. Bapak itu tukang becak” ucap si ibu aa menjelaskan pernyataan saya tadi.
Saya lalu membayangkan bagaimana kerasnya hidu yang dilalui bapak ini diusianya yang renta, sesak menggerogoti tubuhnya dan ancaman TB yang mungkin sedang mengancam dirinya.
Saya mungkin memang lebay. Tapi saya sedihhh sekali melihat bapak itu. Yang datang tidak menggunakan alas kaki, terbatuk-batuk, sesak dan membayangkan ia harus terus menggayung becaknya. Emosi saya terkoyak saya terus memikirkan nasib bapak itu. Saya sadar ini tidak semestinya. Saya tidak boleh membawa emosi sosial saya kedalam profesional profesi saya.
Tapi saya manusia biasa. Tak ada mungkin yang bisa saya lakukan selalin membantu menyiapkan resep bapak tadi dan sembari berdoa semoga Allah memberikan kesembuhan pada bapak itu dan memberikan harapan hidup yang lebih baik atas dirinya.

Lalu pelajaran berikutnya kembali saya peroleh lagi di sua hari terakhir saya disana.
Ada salah satu karyawan di apotik entah dia itu apoteker atau asisten apoteker. Di papan nama baju dinasnya gelarnya tidak tertera.
Sejak hari pertama saya berjaga saya memang juga sering memperhatikannya karena ia tampak beda dengan ibu-ibu yang lain. Ia menggunakan wig (rambut palsu).
Saya berpikir ibu-ibu ini mungkin ingin tampak lebih cantik sehinga menggunakan rambut palsu itu. Tapi lalu saya tahu dari obrolan dengan salah satu ibu perawat disana. Bukan itu alasannya. Bukan agar terlihat necis, atau cantik atau sekedar gaya-gayaan.
She’s have a cancer diseases.
Dia kanker.
Kanker rahim.
Dan sudah tiga kali menjalani kemo. Oleh karena itu rabutnya mengalami kerontokkan mungkin hampir botak.
Mendengar cerita dari ibu perawat itu seketika kebersamaan saya dengan ibu itu ketika menyiakan resep pasien di apotek terekam jelas. Jelas sekali. Bagaimana dengan cekatannya ibu itu membaca resep kemudian menyiapkannya dan secepat mungkin menyerahkan pada pasien hanya untuk memberikan kenyamanan bagi pasien agar tidak lama menunggu.
Ia selalu menyiapkan obat untuk asien-pasien yang sakit dengan sigap, cepat, ramah hanya untuk sebisamungkin memberikan pelayanan terbaik untuk pasien.
Ia sibukkkkk sekali menyipakan obat untuk pasien yang sakit dengan harapan besar agar pasien tersebut dapat sembuh.
Sementara dia sendiri sakit.
Tulus sekali
Luar biasa sekali.
Ia masih sempat memikirkan kesehatan orang lain yang mungkin tidak kenal diantara gentingnya dia melawan kanker yang dideritanya. Ia tetap semangat.


Lalu di atas motor sepanjang jalan pulang saya berpikir.
Hidup memang tidak mudah. Tapi bapak tukang becak itu mengajarkan saya untuk terus berjuang hidup sekeras apapun problema yang mengintai. Si Ibu mengajari saya ketulusan, meski untuk menjalani hidupmu sendiri begitu berat lantas bukan berarti kau berhenti peduli pada hal diluar dirimu. Perjuangan dan ketulusan.
Terimakasih banyak.
Saya selalu berdoa untuk kesembuhan bapak tukag becak dan ibu. Semoga Allah selalu meridhai langkah kalian.

Sabtu, 01 Juni 2013

indrayanti beach




Saya suka bau pantai.
Saya suka angin pantai yang menyibak baju atau hijab saya
Saya suka butiran pasir yang menahan pijakan kaki saya
Saya suka suara ombak yang menyambut.
Saya suka semua itu.




13 Mei 2013 05.00, Jogjakarta.
Namanya pantai indrayanti.
Untuk sampai kita harus melewati beberapa jalan menanjak yang sempit.
Pantainya memiliki pasir putih yang butirannya halus.
Ombaknya bergulung-gulung sahut meyahut.
Pada saat kami tiba hari sudah sore sehingga keadaan air laut sedang surut.
Di ujung kanan pantai ada batu beukuran sangat besar yang ditumbuhi beberapa tumbuhan pantai. Berjalan kearah kiri sepanjang pasir putih di samping pantai berjejer rapi pondok-pondok yang bisa ditempati serta banyak jajanan di warung yang dijual oleh warga sekitar. Banyak juga oleh-olehh khas pantai yang dijajakan.
Pataiya bersih.
Keren.
Sayang hari itu mendung. Tapi saya bisa membayangkan betapa indahnya menyaksikan keindahan berpulangnya sang surya yang pamit malu-malu dibalik awan.

Alhamdulillah.
Terimakasih ya Allah atas kesehatan dan kesempatan yang engkau berikan sehingga aku bisa merasakan indahnya hasil karyaMu ini.
Subhanallah. Maha Besar Allah.



GOA PINDUL!!!



Goa yang pernah saya masuki yaitu Goa Jepang di pulau Biak Papua. Dan kali ini saya akan masuk ke Goa yang lain lagi. Menyenangkan sekal.
Goa itu bernama Goa pindul, terletak di daerah Gunung Kidul Daerah Istimewa Yogyakarta.
Start dari solo jam 8 pagi, naik bus patas AC dengan teman-teman sekelas. Yah karena kita berangkatnya sekelas jadi memang harus menggunakan patas AC selain lebih nyaman juga lebih hemat. Ngirit memang selalu menyenangkan untuk mahasiswa.

Okai, perjalanan dimulai melalui Karanganyar.
Sepanjang jalan karanganyar hamparan sawah membentang luas.
Saya memang selalu suka melihat hamparan sawah. Banyak orang seing mengatakan hal tersebut menenangkan. Entahlah. Tapi kenyataannya memang demikian adanya.

Pukul 11 sampailah kita di tempat wisata Gua pindul Gunung Kidul.
Disana ada 3 permainan yang ditawarkan. Pertama masuk melewati gua pindul menggunakan ban besar perorang.
Sebelum memasuki gua kita mengenakan pelampung dan sepatu plastik yang disediakan oleh pihak pengelola sarana gua indul.
Meskipun masuk sendiri-sendiri tapi kita bergandengan tangan sehingga tidak akan terpisah antara yang satu dan yang lainnya.
Di dalam gua kita banyak melewati bebatuan granit. Yaitu pertemuan antara granit atas dan bawah, entah apalah namanya. Oleh bapak-bapak guidenya dijelaskan hanya karena saya telalu sibuk mengamati sendiri jadi tidak menyimak penjelasan guidenya. Hehheee
Konon katanya sejarah gua pindul itu diambil dari kisah tentang pembuangan bayi oleh utusan panembahan senopati. Sebelum dibuang sang bayi dimandikan didalam sebuah gua, saat dimandikan pipi sang bayi terbentur sebuah batu. Nah karena peristiwa terseut Goa itu diberi nama Goa Pindul. Dimana kata ‘pindul’ itu diambil dari kata ‘pindul=pipi kebendul’
Kedalaman air bermacam-maca ada yang 2 meter, ada yang 6 meter bahkan ada yang 12 meter, dan di dalam goa pun terbagi menjadi tiga zona. Dengan masing-masing zona dengan cerita tersendiri-sendiri.
Konon pula katanya ada beberapa batu granit yang bila dipegang dapat menambah keperkasaan lelaki.
Ada pula yang bila terkena percikan air dari batu granit tersebut akan menjadi lebih awet muda.
Saya berdiam lama dibawah batu yang tetesan airnya bisa menyebabkan awet mudah, tapi sayang hari itu saya tidak beruntung saya tidak terkena percika airnya. Hahaaa
Nah itu wahana pertama.
Wahana kedua adalah arung jeram. Dan untuk menuju ke sungai tempat wahana kedua harus melewati jalan berupa ladang tumbuhan minyak kayu putih. Amazing.
Kita menggunakan mobil pick up milik pengelola sarana. Ban-ban yang tadi kita pakaimasih kita bawa. 1 orang melewati track-track arung jeram sendiri-sendiri. Menantang.
Setelah itu kita akan mengikuti arus sungai menuju air terjun.
Yang paling saya sukai adalah batu-batu dispanjang kiri kanan sungai. Batu-batu alam tertempel sedemikian rupa pada dinding batu raksasa karya alam yang begtu apik.

Tempat permainan yang ketiga yaitu outbond flying foks melewati hamparan sawah hijau. Sayang saya tidak sempat menikmati wahana ketiga.

Rincian biaya:
Jelajah goa pindul: 30.000/orang
Arung jeram : 30.000/orang
Makan : 20.000/ orang (prasmanan)
15.000/orang (nasi kotak)