Rabu, 11 Juni 2014

Karena kamu


Karena kamu,
Yang menjadi muara rinduku surat ini ditujukan
Anggap saja aku sedang berbicara seperti biasanya di depanmu, keras dan tergesa-gesa. Dan kamu mengumpulkan segala konsentrasimu untuk menterjemahkan kalimatku yang sulit dipahami karena terlalu terburu-buru. Atau anggap saja suaraku sedang memekakkan telingamu dan memecahkan kesunyian seisi ruangan, dan kamu sedang terdiam karena kalimatmu baru saja aku potong. Bukan begitu erliandi? Aku hampir selalu memotong setiap kalimatmu, mendominasi obrolan, dan menentukan alur cerita. Sesuai kemauanku. Aku seegois itu.
Tapi lalu menjadi tidak terlihat.


Karena kamu,
Karena kamu menutupi keegoisanku, tenangnya kamu memberiku oksigen memadamkan panasnya kalut yg sering membuntutiku, memberi hawa sejuk dari gerahnya jarak yg mencekik, yang berulang kali hampir membuat aku nyaris bersimpuh kalah padanya.


Karena kamu,
Karena kamu aku menambah panjang harapan dan pintaku kepada sang pemilik hidup, menyelipkan satu nama baru dalam diskusi kami


Karena kamu,
Karena kamu datang merevisi semua rencana hidupku, mengubah gradiasi warnanya menjadi lebih real

Karena kamu,
Karena kamu cerita baru tercipta antara kedua orang tuaku. Aku merasakannya jelas dari cerita mamaku bagaimana jatuh cintanya uwa sm kamu di kali pertama kamu datang menemui mereka padahal aku tau itu juga mewakili bagaimana prerasaannya padamu, ahh kamu membuat posisiku terancam


Karena kamu,
Karena kamu aku tahu aku harus bangun lebih pagi, tersenyum lebih banyak, berpijak lebih kuat, menatap lebih jauh, melangkah lebih pasti dan tentu saja bernafas lebih lama


Karena kamu,
Karena kamu adalah apa yang sering aku perbincangkan dengan Dia muara cinta sesungguhnya, sang penguasa kasat mata, dan jawaban atas setiap pertanyaanku...

Selasa, 10 Juni 2014

Klik


Seorang teman curhat padaku beberapa hari lalu.
Tidak jauh dari yang hampir semua wanita sebayaku ceritakan. Iyah perkara cinta, jodoh dan pernikahan.
Teman saya itu cerita, apa yang akhir-akhir ini mengganggu pikirannya. Singkat cerita saja, intinya orang tuanya sudah menuntutnya untuk mempunyai pendamping.
Yang dekat dengan teman saya itu banyak. Lalu masalahnya apa?! Nah masalahnya dari sekian banyak pria yang dekat, mendekati, atau pernah dekat itu selalu saja gagal. Sulit sekali bagi dia untuk bertemu dengan seseorang yang benar-benar klik. Pas.
Berbagai saran sudah penah saya berikan. Tapi dia tetap berdalih belum menemukan satupun yang cocok dari sekian banyak pria yang datang silih berganti itu.
Meskipun yang datang itu hampir nyaris sempurna, baik, mapan, tampan, atau apapunlah. Tapi dia tetap keukeh dengan alasan dia "belum nemu yang pas. Yang klik"
Klasik.
Tapi saya tidak bisa memungkiri bahwa alasan itu benar adanya.
Saya terdiam.

Lalu sampailah saya pada pemahaman bahwa untuk menjalin hubungan memang tidak semudah itu saja. Bukan sekedar kemapanan. Bukan sekedar ketampanan. Tapi lebih dari itu: kenyamanan. Rasa cocok dan nyaman satu sama lain.

Dan saya kembali tersadar. Seperti baru saja bercermin.
Itu alasannya. Kenapa sampai 8 bulan hubunganku dengan aa masih tetap penuh kangen setiap malam sebelum nutup telepon.
Padahal sejak pertama kami kenal, kemudian menjalin komunikasi, lalu dekat dan menjalin hubungan tidak pernah seharipun kami lewati tanpa memberi kabar satu sama lain. Baik lewat tlp, bbm,line, ataupun wa. Setiap hari. Dan sampai tadi sebelum saya mempost postingan ini dia menutup telepon dengan kalimat "miss you neng" yang terdengar sungguh-sungguh dikuping saya.
Yah, itu karena kami merasa saling menemukan. Bayangkan bagaimana hambarnya 8 bulan kami lalui jika tidak merasa klik. mungkin akan terasa seperti sedang berada dalam pelajaran bahasa indonesia di kelas. cerita-cerita dari kami hanya terasa sebagai narasi satu sama lain.
Mungkin yang banyak orang definisikan "klik" kuncinya, iyah seperti yang kami rasakan. Kami merasa saling melengkapi satu sama lain. Saling menutupi kekurangan kami masing-masing.
Kami bisa cerita apa saja sepanjang hari. Makanan, gunung, karedok itu apa, bagaimana membuat pisang epe, visi misi prabowo dan jokowi,frozzen itu ceritanya seperti apa, bidadari surga, diazepam, orgasme, dan entah saya lupa hal apa yang belum pernah kami ceritakan berdua. Kenapa? Karena kami nyambung. Kami bisa bercerita sebagai sepasang kekasih, dua orang sahabat, atau seorang teman seperjalanan di kereta. Setiap kami bertemu ada banyak hal baru yan selalu ingin kami bagi, kami tertawakan. Iyah, kenyamanan seperti itu kuncinya. Nyaman ketika berdiskusi, nyaman ketika berdebat, nyaman dilingkungan pasangan satu sama lain bahkan nyaman ketika kami sedang bertengkar.
Nyaman karena kami selalu saling mencari, merasa dahaga atas cerita satu sama lain, merasa saling menemukan.

Akhirnya Saya menyadari yang dibutuhkan bukan sekedar pasangan yang tampan dan mapan, tapi lebih dari itu adalah yang nyaman. Yang dengannya berbagai cerita bisa mengalir berjam-jam tanpa alur dan plot yang teratur. Tapi kamu mengerti. Nyaman. Dan selalu ingin medegar suara itu, menceritakan berbagai hal, bertukar pendapat, dan beradu gagasan. Dengannya kamu merasa ada dahaga yang terpenuhi. Yang membuatmu selalu ingin menemukannya lagi, lagi dan lagi.


Me : Aa, neng punya cerita, neng tadi nonton film keren deh aa jadi ceritanya semacam alien yang punya misi kuasain dunia
Aa: oh ya? Siapa yang maen? Terus? Terus?
Dan cerita kami akan mengalir hingga beberapa jam kedepan yang akan berakhir pada vespa itu terbagi menjadi dua vespa yang klasik dan vespa yang lebih 'baru' itu terlihat pada bentuk bulat pada lampunya. Dan suara kami saling beradu volume antara warna merah atau kuning yang akan kami pakai pada 'vespa' impian kami eberapa tahun mendatang.
Dan aa akan selalu tertidur nyenyak di telepon karena suaraku yang menyebabkan polusi menyanyikan lagu kahitna.

Senin, 09 Juni 2014

Setelah 180 hari kita

Ahh u're falls asleep.. Beda 2 jam memang sulit. Aku sering melakukan ini untuk membunuh waktu.
Dan aku dapet ini di notes iphone aku.
Saat itu kali pertama kamu memproklamirkan tentang 'mau kemana kita bawa hubungan kita' kurang lebih seperti ini yang aku tulis di notes iphone.


29 maret 01.59 am.


6 bulan lalu kita kenalan.
Bukan tanpa maksud apa2 Allah memperkenalkan kita. Ada sesuatu dibalik itu.
Aku tidak tau, dan aku memang tidak disuruh untuk mencari tahu penyebabnya. Cukup percaya Allah punya maksud. Karena Ia tidak sedang berjudi.

Disaat peliknya hidup kita masing2, aku yg merasa hidup tengah stagnan - stagnanya, ditinggal pergi cinta, berusaha mencoba menerima cinta yg datang tp tidak bisa. Kamu yang juga sama muaknya dgn hidup yg menyajikan hidangan monoton disetiap putarannya yg sejuta kali lebih lama dr biasanya dan diperbudak pekerjaan dan aku yang jadi pecandu gelar akademik. Lalu lewat sms singkat kita berkenalan. Tanpa ekspetasi berlebih apalg gambaran bahwa sms sederhana itu akan berlanjut, berlanjut menjadi line mengingatkan makan, berubah menjadi wa dgn bait kata2 manis yg kt baca satu sama lain sebelum tidur, kemudian berlomba dengan matahari pagi untuk menyapa, dan heii.... untuk pertama kali kamu lalu mengucapkan sayang padaku. Perlahan warna abu2 itu tersingkap. Entah warnanya apa, yang aku tau lebih cerah, lebih indah, dan lebih hidup. Cerita demi cerita tak pernah hbs kita lewati, aku tak tahu berapa banyak jumlahnya. Meski kadang seiring itu entah berapa banyak pula teriakan yg kita serukan satu sama lain. Kekesalan yg terpantul disetiap sisi. Kekuatan yg melemah memaksa menyerah.
Dannnnn kita tetap bisa berjalan beriringan melewati itu, iyahh sampai hari ini. Sampai hari yg kesekian kmu sdh menginjakkan kaki dirumah tempat aku sejak kanak berteduh, panggilanku kpd kedua org tuaku kau lafalkan dengan sama pula, ketika pertama kali kupingku mendengar itu, hatiku bergetar bukan main, refleksi rasa terharu dan senangnya aku. Sampai malam ini, malam aneh krn kamu mengucapkn kata sayang lebih banyak dari biasanya, sampai pula pada penuturanmu pada orangtuamu tentang bagaimana hubungan kita, bagaimana rencana kita yg manpu menggugurkan dinding2 ego kita mengenai impian kita masing2. Tentang gunung api tertinggi di indonesia yg kamu bayangkan manakala memejamkan mata. Tentang pencapaian gelar akademik dan deretan angka membanggakan yg aku cangkok di setiap neuron-neuron otakku. Tentang carrier yg lebuh kuat dan lebih nyaman yang kamu targetkan di setiap penghujung bulan atau tahunmu. Tentang sepatu yg mendefinisikan rasa senangku. Sampai pada semua hal itu entah bertransformasi kemana. Sampai pada perasaan yang sulit kita gambarkan ini meluruhkan semuanya. Meleburnya menjadi 1 diksi 'kita'. Iyahhh memang belum sempurna. Jauh dari kesempurnaan yg kita sendiri tak pernah punya indikatornya. Tapi aku tahu, aku atau kamu tak perlu menguras pelu hanya untuk mencari indokator itu. Karena aku dan kamu sama2 tahu jawabannya. Kesempurnaan itu 'kita'. Tak banyak pinta yg aku lantunkan padaNya sang pemilik kesempurnaan hidup, selain skenarioNya tentang kita yg terus ada, tentang 'kita' yang akan terus bergandengan tangan sampai nanti salah satu dari 'kita' lebih dulu pulang padaNya...


Ps: terimakasih banyak aa, untuk 180 hari yg indah, 4320 jam yang hangat, 259.000 menit yg berarti, dan 15.552.000 detik yg lebih hidup. Dan aku mencintai kamu. Selalu. _01.59 am.

Minggu, 08 Juni 2014

Kamu

8 bulan lalu, waktu itu hidup sedang benar-benar monoton. Kuliah-kost-mal. Phone celuler hanya untuk bercengkrama dengan teman-teman via sosial media, menceritakan hal omong kosong, bercanda, atau berbagi hal apa saja sampai jatuh terlelap.

Saat itu datanglah sebuah pesan singkat di hp saya, dari seseorang yang tidak pernah saya kenal sebelumnya. Tanpa ekspetasi berlebih saya membalasa pesan kamu seadanya.
Hanya untuk mengisi waktu luang saya yang saya pikir sama saja seperti biasanya, seperti yang sudah-sudah. Toh sms seperti ini sering datang berganti di hape saya, yang kadang hanya bertahan satu minggu, tiga minggu atau dua bulan yang kemudian berakhir dengan entah saya atau 'orang' itu yang minggat duluan. Dengan atau tanpa permisi.


Datanglah kamu.
Waktu itu hidup sedang stagnan-stagnannya. Ditinggal pergi cinta dan berusaha untuk membuka hati untuk seseorang tapi tak bisa. 


Kamu biasa sekali.
Baik penampilan maupun sikap dan tutur kata.
Merangkai kata-kata indah yang membuatku terbang bukanlah keahlianmu.
Kamu tidak seperti itu.
Bahkan banyak sekali alasanku untuk mundur.
Sering kali kamu tertidur ketika kita sedang bercengkrama via line dan besok kamu sudah di kantor tanpa kabar apapun padaku hingga sore hari.
Tapi saya selalu rindu dan menunggu saat-saat kamu khawatir aku tidur nyanyak atau tidak.

Kalau saya disuruh mendeskripsikan kamu dalam lima kata. Saya akan memilih "idealis, humanis, penyayang, penyabar dan broad minded" 
Itu mungkin alasan kenapa saya selalu tenang setiap dekat kamu,
Kamu menutupi kurangnya saya,
Kamu melengkapi apa yang tidak ada pada saya.

Mungkin cerita kita baru dimulai.
Mungkin langkah kita barulah sebuah langkah kecil,
Tapi saya berjanji, akan terus melangkah meski mungkin didepan nanti akan banyak kwrikil, pecajan beling atau apapun yang berusaha menghentikan langkah kita.
Aku akan terus berusaha, asal kamu berjanji tidak akan pernah melepaskan genggaman ini.

Minggu, 08 September 2013
















"never look back, if cinderela went back to get her shoes,
she would have never been a princes"


Jangan pernah menoleh ke belakang. jangan pernah berpikir untuk menoleh sama sekali!!

Jumat, 14 Juni 2013




Senin 27 mei 2013 ini saya memulai PKPA pemerintahan selama seminggu tepatnya di puskesmas setabelan Surakarta.
Kegiatan PKPA tidak jauh berbeda engan kegiatan KKN yang dulu pernah saya jalani ketika berada di jenjang pendidikan strata satu.
Setiap gelombang pada satu puskesmas terdiri dari lima orang, dan kami akan di bagi-bagi lagi untuk membantu di puskesmas pusat, puskesmas pembantu dan puskesmas keliling.
Disana yang saya kerjakan kadang membantu seorang ibu asisten apoteker (aa) mengerjakan dan meracik resep atau menginput resep pasien ke komputer.
Banyak sekali yang saya peroleh disini.
Banyak sekali yang bisa saya pelajari disini.
Dan semuanya berarti.
Bukan sekedar untuk memenuhi dahaga intelektual keilmuan farmasi saya.
Tapi lebih dari itu, pelajara berharga yang jauh daripada itu yang mungkin tidak bisa saya dapatkan dibangku kuliah dalam kelas ber-AC dengan fasilitas internet dan dosen dengan integritas tinggi lulusan luar negeri.
Ia bernama pelajaran hidup.
Kita semua tahu kalangan seperti apa yang biasanya datang berobat dipuskesma. Tidak sedikit dari mereka datang dari kalangan keluarga tidak mampu.
Entah itu kertas resep yang mereka bawa berwarna hijau (jamkesmas) atau berwarna pink (pkms) atau mungkin berwarna putih (gratis). Mereka mendapatkan pengobatan gratis.
Saya bersyukur sekali sekarang masyarakat bisa merasakan pengobatan gratis dari pemerintah. Apresiasi yang besar skali untuk pemerintah dan terimakasih untuk hal itu.
Setidaknya itu bisa sedikit meringankan beban mereka.
Waktu itu entah saya lupa hari apa, tapi tepatnya masih pagi. Saya berjaga di puskesmas pembantu.ia berada di lorong jalan dari jalan besar Jl. Gajah Mada. Belum banyak pasien yang datang. Jadi sambil mengeluarkan obat dari laci kemeja untuk memudahkan penyiapan resep nantinya asien pertama datang. Saya bisa melihat dengan jelas pasien itu.
Ia bapak-bapak Paruh Baya sekitar usia 60 tahun. Kulitnya hitam legam bertanda seringnya bercengkrama dengan panas matahari.
Beberapa rambutnya yang terjulur keluar dari balik topi biru usang yang dikenankannya tampak beruban menandakan panjangnya garis kehidap yang sudah ia lewati. Beberapa kali ia terdengar batuk. Ia terlihat sangat tidak sehat. Dan yang membuat saya semakin miris bapak itu duduk di bangku panjang dari kayu ruang tuggu puskesmas terlihat jelas ia tidak menggunakan alas kaki. Saya berharap semoga ia hanya lupa menggunakan alas kaki bukan karena ia tidak memilikinya.
Dokter memanggil namanya dan ia masuk ke ruang prakter dokter.
Dokter memeriksanya dengan stetoskop, dengan beberapa prosedur serhana melalui bunyi yang dihasilkan stetoskop dokter mencoba mendiagnosa penyakit yang dikeluhkannya.
Karena puskesmas pembantu kapasitas ruangannya memang kecil jd apotik tempat saya jaga berada dalam satu ruangan dengan tempat praktek dokter hanya dipisahkan oleh sekat berupa dinding berukuran 1 meter. Sehingga saya hampir selalu bisa mendengarkan percakapan atara dokter dengan pasien.
Saya mendengar dokter bertanya keluhan pasien, kemudian samar-samar saya juga mendengar pasien mengatakan sudahbatuk hampir 2 minggu dan selalu merasa sesak. Yang saya tangkap dokter umum itu tidak berani mendiagnosa mengenai batuk yang cukup lama dideritanya itu dan sesak yang dirasakannya. Ia menyarankan bapak itu untuk melakukan pemeriksaan dahak untuk mendiagnosa penyakitnya. Tepat seperti yang saya duga, dokter juga mendua baak itu menderita TBC. “Bapak harus memeriksakan dulu dahaknya ke rumah sakit. Hanya saya kurang tahu itu berbayar atau tidak pak” saya menangkap raut kesedihan diwajah bapak itu. Entah apa yang ada dipikirannya.
Ia menyerahkan resepnya.
Sembari mengerjakan resepnya sesekali saya mencuri pandang pada bapak itu melalui kaca jendela tempat penyerahan obat. Matanya menerawang nelangsa. Banyak yang ia pikirkan pasti. Pasti. Saya menduga-duga mungkin kemungkinan penyakit yang didiagnosa dokter tadi, atau mungkin hal lain. Satu yang saya syukuri untuk pengobatan pagi ini yang baru saja ia jalani, yang resep obatnya masih sementara saya kerjakan ia tidak merogoh koceknya. Terimakasih banyak untuk itu.

“Obat sesak ” celoteh saya sambil menyerahkan etiket yang baru saya isi aturan pakainya pada ibu aa disebelah saya itu.
“gimana tidak sesak kalau dia itu tiap hari menggayung becak. Bapak itu tukang becak” ucap si ibu aa menjelaskan pernyataan saya tadi.
Saya lalu membayangkan bagaimana kerasnya hidu yang dilalui bapak ini diusianya yang renta, sesak menggerogoti tubuhnya dan ancaman TB yang mungkin sedang mengancam dirinya.
Saya mungkin memang lebay. Tapi saya sedihhh sekali melihat bapak itu. Yang datang tidak menggunakan alas kaki, terbatuk-batuk, sesak dan membayangkan ia harus terus menggayung becaknya. Emosi saya terkoyak saya terus memikirkan nasib bapak itu. Saya sadar ini tidak semestinya. Saya tidak boleh membawa emosi sosial saya kedalam profesional profesi saya.
Tapi saya manusia biasa. Tak ada mungkin yang bisa saya lakukan selalin membantu menyiapkan resep bapak tadi dan sembari berdoa semoga Allah memberikan kesembuhan pada bapak itu dan memberikan harapan hidup yang lebih baik atas dirinya.

Lalu pelajaran berikutnya kembali saya peroleh lagi di sua hari terakhir saya disana.
Ada salah satu karyawan di apotik entah dia itu apoteker atau asisten apoteker. Di papan nama baju dinasnya gelarnya tidak tertera.
Sejak hari pertama saya berjaga saya memang juga sering memperhatikannya karena ia tampak beda dengan ibu-ibu yang lain. Ia menggunakan wig (rambut palsu).
Saya berpikir ibu-ibu ini mungkin ingin tampak lebih cantik sehinga menggunakan rambut palsu itu. Tapi lalu saya tahu dari obrolan dengan salah satu ibu perawat disana. Bukan itu alasannya. Bukan agar terlihat necis, atau cantik atau sekedar gaya-gayaan.
She’s have a cancer diseases.
Dia kanker.
Kanker rahim.
Dan sudah tiga kali menjalani kemo. Oleh karena itu rabutnya mengalami kerontokkan mungkin hampir botak.
Mendengar cerita dari ibu perawat itu seketika kebersamaan saya dengan ibu itu ketika menyiakan resep pasien di apotek terekam jelas. Jelas sekali. Bagaimana dengan cekatannya ibu itu membaca resep kemudian menyiapkannya dan secepat mungkin menyerahkan pada pasien hanya untuk memberikan kenyamanan bagi pasien agar tidak lama menunggu.
Ia selalu menyiapkan obat untuk asien-pasien yang sakit dengan sigap, cepat, ramah hanya untuk sebisamungkin memberikan pelayanan terbaik untuk pasien.
Ia sibukkkkk sekali menyipakan obat untuk pasien yang sakit dengan harapan besar agar pasien tersebut dapat sembuh.
Sementara dia sendiri sakit.
Tulus sekali
Luar biasa sekali.
Ia masih sempat memikirkan kesehatan orang lain yang mungkin tidak kenal diantara gentingnya dia melawan kanker yang dideritanya. Ia tetap semangat.


Lalu di atas motor sepanjang jalan pulang saya berpikir.
Hidup memang tidak mudah. Tapi bapak tukang becak itu mengajarkan saya untuk terus berjuang hidup sekeras apapun problema yang mengintai. Si Ibu mengajari saya ketulusan, meski untuk menjalani hidupmu sendiri begitu berat lantas bukan berarti kau berhenti peduli pada hal diluar dirimu. Perjuangan dan ketulusan.
Terimakasih banyak.
Saya selalu berdoa untuk kesembuhan bapak tukag becak dan ibu. Semoga Allah selalu meridhai langkah kalian.

Sabtu, 01 Juni 2013

indrayanti beach




Saya suka bau pantai.
Saya suka angin pantai yang menyibak baju atau hijab saya
Saya suka butiran pasir yang menahan pijakan kaki saya
Saya suka suara ombak yang menyambut.
Saya suka semua itu.




13 Mei 2013 05.00, Jogjakarta.
Namanya pantai indrayanti.
Untuk sampai kita harus melewati beberapa jalan menanjak yang sempit.
Pantainya memiliki pasir putih yang butirannya halus.
Ombaknya bergulung-gulung sahut meyahut.
Pada saat kami tiba hari sudah sore sehingga keadaan air laut sedang surut.
Di ujung kanan pantai ada batu beukuran sangat besar yang ditumbuhi beberapa tumbuhan pantai. Berjalan kearah kiri sepanjang pasir putih di samping pantai berjejer rapi pondok-pondok yang bisa ditempati serta banyak jajanan di warung yang dijual oleh warga sekitar. Banyak juga oleh-olehh khas pantai yang dijajakan.
Pataiya bersih.
Keren.
Sayang hari itu mendung. Tapi saya bisa membayangkan betapa indahnya menyaksikan keindahan berpulangnya sang surya yang pamit malu-malu dibalik awan.

Alhamdulillah.
Terimakasih ya Allah atas kesehatan dan kesempatan yang engkau berikan sehingga aku bisa merasakan indahnya hasil karyaMu ini.
Subhanallah. Maha Besar Allah.